hotbizbook.ning.com .quickedit{ display:none; }

Minggu, 03 Januari 2010

Sekolah Sekolah Sekolah ???

Sekolah ???

Oleh Ersis Warmansyah Abbas*
KASUS: Saya tidak berpendidikan tinggi, hanya tamatan SLTP. Sangat paham betapa sulitnya menulis karena tidak bersekolah (tinggi), kata seorang teman. Teman yang lain justru terbalik, kuliah sampai S3, tetapi sulit ‘mencari waktu’ untuk menulis.
Kata yang pertama, bagaimana mengejar ketertinggalan pendidikan formal. Ujar yang kedua, bagaimana membiasakan menulis.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Dua orang di tempat berbeda.
JUJUR saja, saya ngakak dalam hati (ngakak dalam hati gimana tu rasionalnya he … he …). Betapa tidak, pada orang pertama ada kerancuan persepsi. Apa hubungan tegas antara pendidikan formal dengan menulis? Penyakit bawaan yang melilit masyarakat kita, kalau mau berbuat sesuatu harus berpendidikan tinggi. Aya-aya wae.

Pernah baca buku Annimal farm Goerge Owel? Buku itu diterjemahkan Mahbub Djunaidi menjadi Binatangisme. Saya ingat —bukunya hilang— pada kata pengantar Mahbub menulis … orang-orang cerdas di Inggris pada ke luar dari perguruan tinggi. Sekolah kehidupan, belajar di dan dari dunia nyata lebih afdol.

Sudahlah, Albert Einstein, Thomas Alfa Edison dan bejibun lainnya, bahkan ketika SD saja sudah dicap bodoh, mereka di tolak. Ingat, ditolak karena dianggap idiot. Kalau tidak pernah membaca tentang para penemu, ilmuwan, dan filsuf hebat-hebat yang tidak bersekolah, jangan sampai memaki diri dungu ya. Tidak produktif itu.

Pada tingkat paling radikal, saking sekolah dianggap kuno, membelenggu, Ivan Illich menulis buku fenomenal, Deschooling Sosiety. Bubarkan sekolah, katanya garang. Masyarakat cukup membuat jaringan belajar.

Illich tentu berpikir radikal, seperti juga Faulo Preire tokoh pemikir Amerika Latin yang kesohor itu. Apa pun jadinya, saya termasuk orang yang tidak puas dengan sekolah formal. Hanya saja tidak mengeluh, yang tidak didapat di sekolah dicari di sekolah kehidupan. Faktanya, banyak guru yang dungu —yang cerdas lebih banyak lagi— dengan tindakan mengajar yang jauh dari edukatif. Tapi, mau bilang apa, begitulah kenyataannya.

Lebih parah dan membuat gregetan, guru dikeluhkan dan mengeluh karena kualifikasi tidak memadai, kompetensi perlu ditingkatan, sarana dan prasana mengajar harus dilengkapi, metode dan inovasi harus dilakukan, dan harus-harus lainnya. Kenyataannya?

Konstitusi saja dilanggar bejamaah. Yang lebih lucu, dengan segala kekurangan itu, ambil contoh Ujian Nasional yang salah kaprah tersebut, justru hasilnya bagus. Tingkat kelulusan di atas 90%. Luar biasa. Kalau capaian hasil belajar sedemikian namanya sukses besar. Ngapain ribut-ribut tentang banyak hal. Tinggal perbaiki sana sini. Lain halnya kalau curang. Nah, ini memerlukan pembasmian guru dan birokrat pendidikan. Kalau curang sudah menjadi pegangan, payah itu. Perlu waktu.

Bagi saya pendidikan formal penting dalam mendapatkan hal-hal mendasar. Tetapi, bukan satu-satunya ‘tiket’ untuk mengembangkan potensi. Pada banyak kasus, justru menghalangi pengembangan potensi, karena di pendidikan formal susah berpikir merdeka. Ya, anggap tempat melatih diri hal-hal dasar. Pengembangan di sekolah kehidupan.

Dengan kata lain, dalam kaitan menulis, pendidikan formal bukan satu-satunya tiket memasuki gerbang menulis. Saya ambil contoh Muhammad Arsyad Al-Banjari penulis abad ke XIX. Bayangkan bagaimana beliau menulis di Kalimantan dimana ketika itu mesin tik belum ada, komputer apakah lagi, mana ada buku-buku bertebaran —sekarang saja di Indonesia buku begitu sulitnya— mampu menulis puluhan buku. Karena sekolah? Ya ngaklah. lalu?

Pasti karena berkeinginan menulis. Menulis dijadikan sarana dakwah untuk menyiarkan yang hak dan melawan kemungkaran. Buku-buku beliau di pakai, terutama dalam kajian keagamaan di Asia Tenggara. Artinya, menulis itu adalah keterampilan yang diasah. Toh, sampai hari ii tidak ada sekolah khusus bagi penulis. Ingat, penulis-penulis besar karena dia menulis, bukan diajarkan menulis.
Kurang Waktu Apaan
Saya bersahabat dengan seorang Doktor. Ketika sekolah dia telah menulis beberapa buku, tetapi begitu kembali ke kampus, jangankan buku menulis artikel saja tidak. Kalau diminta sebagai pemakalah atau penatar baru menulis. Alasannya, tidak ada waktu.

Suatu kali saya diskusi agak serius. Saya tidak mendukung kamu jadi pejabat. Tugas seorang Doktor meneliti. Ini kan terbalik, semakin banyak doktor pendidikan (juga Magister) semakin jelek kualitas pendidikan. Kita banyak punya ahli-ahli kehutanan, tetapi justru hutan gundul. Semakin banyak PT pertanian, kita semakin rajin mengimpor beras, sampai durian dari Thailand. Sekolah tehnik menjamur semenjamurnya produk mancanegara yang kita impor. Penegak hukum dididik di PT bagus-bagus, membantas korupsi duh sulitnya.Ngapain ekonom mengurus pendidikan, urus saja masalah ekonomi yang tidak kunjung beres. Lalu sibuk?

Kalau para Doktor melakukan penelitian, banyak hal bisa ditulis. Tulisan ilmiah menyangkau Hadiah Nobel atau yang ringan yang bermanfaat langsung. Kawan saya, sibuk mengajar kesana-kemari, ya kapan meneliti dan menulis.

Dus, menulis tidak ada hubungan pasti dengan menulis. Orang yang tidak berpendidikan tinggi bisa produktif menulis sementara yang bersekolah ke S3 bisa mandul. Menulis, sekali lagi, tidak ada hubungannya dengan capaian pendikan.

Karena itu, mari menulis. Setidaknya melatih menulis dengan menulis. Lupakan pendidikan, lupakan satus sosial, lupakan. Luangkan waktu untuk menulis. Syukur kalau ‘berani’ menjadi penulis seperti Ihza yang keluar dari SMP lalu berketetapan hati untuk menjadi penulis. Berbagai bukunya kini siap masuk pasar. Kalau saya menulis menjadi ‘pekerjaan’ sampingan saja he … he …

Sebagai contoh, sehabis mengerjakan tugas rutin hari ini, selepas zuhur ke kolam menangkap ikan haruan bersama anak-anak. Menjelang magrib membuka www.webersis.com membaca beberapa komentar, lalu ada ide menulis. Jadilah tulisan. Begitu mudahnya.

Kalau demikian waktu untuk apa yang perlu diluang-luangkan. Menulis saja selagi ada waktu, sekalipun sangat pendek. Hanya saja, memang harus membaca. Untuk membaca dalam pengertian menimba informasi, bukankah kita hidup di era informasi? Semuanya serba mudah.

Dengan kata lain, baca apa saja, dimana saja, dan kemudian tulis apa saja dan dimana saja. Kalau sudah demikian semuanya menjadi mudah. Sekolah penting dan tidak penting, he … he …

Yang pasti, kalau berniat menjadi penulis, tidak perlu sekolah tingg-tinggi ntar ngak bisa mendarat, cukup menjadi pembaca saja. Kalau mau meraih gelar Doktor, yang harus kuliah sampai S3. Kecuali, membeli gelar.

Menulis jauh lebih mudah dibandingkan sekolah, pada tingkat mana pun. Tapi, banyak Doktor kalah produktif dari tamatan SD dalam menulis.

Bagaimana menurut Sampeyan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Maturnuwun


Liberty Reserve

.......

 

Copyright © 2009 by MAHA GURU